PERTEMUAN 123

Jenis-jenis Komponen Elektronika beserta Fungsi dan Simbolnya – Peralatan Elektronika adalah sebuah peralatan yang terbentuk dari beberapa Jenis Komponen Elektronika dan masing-masing Komponen Elektronika tersebut memiliki fungsi-fungsinya tersendiri di dalam sebuah Rangkaian Elektronika. Seiring dengan perkembangan Teknologi, komponen-komponen Elektronika makin bervariasi dan jenisnya pun bertambah banyak. Tetapi komponen-komponen dasar pembentuk sebuah peralatan Elektronika seperti Resistor, Kapasitor, Transistor, Dioda, Induktor dan IC masih tetap digunakan hingga saat ini.

Jenis-jenis Komponen Elektronika

Berikut ini merupakan Fungsi dan Jenis-jenis Komponen Elektronika dasar yang sering digunakan dalam Peralatan Elektronika beserta simbolnya.

A. Resistor

Resistor atau disebut juga dengan Hambatan adalah Komponen Elektronika Pasif yang berfungsi untuk menghambat dan mengatur arus listrik dalam suatu rangkaian Elektronika. Satuan Nilai Resistor atau Hambatan adalah Ohm (Ω). Nilai Resistor biasanya diwakili dengan Kode angka ataupun Gelang Warna yang terdapat di badan Resistor. Hambatan Resistor sering disebut juga dengan Resistansi atau Resistance.
Jenis-jenis Resistor diantaranya adalah :
  1. Resistor yang Nilainya Tetap
  2. Resistor yang Nilainya dapat diatur, Resistor Jenis ini sering disebut juga dengan Variable Resistor ataupun Potensiometer.
  3. Resistor yang Nilainya dapat berubah sesuai dengan intensitas cahaya, Resistor jenis ini disebut dengan LDR atau Light Dependent Resistor
  4. Resistor yang Nilainya dapat berubah sesuai dengan perubahan suhu, Resistor jenis ini disebut dengan PTC (Positive Temperature Coefficient) dan NTC (Negative Temperature Coefficient)

Gambar dan Simbol Resistor :

Jenis-jenis Resistor 
Cara Menghitung Nilai ResistorCara Membaca Nilai Resistor – Resistor merupakan komponen penting dan sering dijumpai dalam sirkuit Elektronik. Boleh dikatakan hampir setiap sirkuit Elektronik pasti ada Resistor. Tetapi banyak diantara kita yang bekerja di perusahaan perakitan Elektronik maupun yang menggunakan peralatan Elektronik tersebut tidak mengetahui cara membaca kode warna ataupun kode angka yang ada ditubuh Resistor itu sendiri.
Berdasarkan bentuknya dan proses pemasangannya pada PCB, Resistor terdiri 2 bentuk yaitu bentuk Komponen Axial/Radial dan Komponen Chip. Untuk bentuk Komponen Axial/Radial, nilai resistor diwakili oleh kode warna sehingga kita harus mengetahui cara membaca dan mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam warna tersebut sedangkan untuk komponen chip, nilainya diwakili oleh Kode tertentu sehingga lebih mudah dalam membacanya.
Kita juga bisa mengetahui nilai suatu Resistor dengan cara menggunakan alat pengukur Ohm Meter atau MultiMeter. Satuan nilai Resistor adalah Ohm (Ω).

Cara menghitung nilai Resistor berdasarkan Kode Warna

Seperti yang dikatakan sebelumnya, nilai Resistor yang berbentuk Axial adalah diwakili oleh Warna-warna yang terdapat di tubuh (body) Resistor itu sendiri dalam bentuk Gelang. Umumnya terdapat 4 Gelang di tubuh Resistor, tetapi ada juga yang 5 Gelang.
Gelang warna Emas dan Perak biasanya terletak agak jauh dari gelang warna lainnya sebagai tanda gelang terakhir. Gelang Terakhirnya ini juga merupakan nilai toleransi pada nilai Resistor yang bersangkutan.
Tabel dibawah ini adalah warna-warna yang terdapat di Tubuh Resistor :
Tabel Kode Warna Resistor

Perhitungan untuk Resistor dengan 4 Gelang warna :

Cara menghitung nilai resistor 4 gelang
Masukkan angka langsung dari kode warna Gelang ke-1 (pertama)
Masukkan angka langsung dari kode warna Gelang ke-2
Masukkan Jumlah nol dari kode warna Gelang ke-3 atau pangkatkan angka tersebut dengan 10 (10n)
Merupakan Toleransi dari nilai Resistor tersebut
Contoh :
Gelang ke 1 : Coklat = 1
Gelang ke 2 : Hitam = 0
Gelang ke 3 : Hijau = 5 nol dibelakang angka gelang ke-2; atau kalikan105
Gelang ke 4 : Perak = Toleransi 10%
Maka nilai Resistor tersebut adalah 10 * 105 = 1.000.000 Ohm atau 1 MOhm dengan toleransi 10%.

Perhitungan untuk Resistor dengan 5 Gelang warna :

Cara Menghitung Nilai Resistor 5 Gelang Warna
Masukkan angka langsung dari kode warna Gelang ke-1 (pertama)
Masukkan angka langsung dari kode warna Gelang ke-2
Masukkan angka langsung dari kode warna Gelang k3-3
Masukkan Jumlah nol dari kode warna Gelang ke-4 atau pangkatkan angka tersebut dengan 10 (10n)
Merupakan Toleransi dari nilai Resistor tersebut
Contoh :
Gelang ke 1 : Coklat = 1
Gelang ke 2 : Hitam = 0
Gelang ke 3 : Hijau = 5
Gelang ke 4 : Hijau = 5 nol dibelakang angka gelang ke-2; atau kalikan 105
Gelang ke 5 : Perak = Toleransi 10%
Maka nilai Resistor tersebut adalah 105 * 105 = 10.500.000 Ohm atau 10,5 MOhm dengan toleransi 10%.

Contoh-contoh perhitungan lainnya :
Merah, Merah, Merah, Emas → 22 *102 = 2.200 Ohm atau 2,2 Kilo Ohm dengan 5% toleransi
Kuning, Ungu, Orange, Perak → 47 * 103 = 47.000 Ohm atau 47 Kilo Ohm dengan 10% toleransi
Cara menghitung Toleransi :
2.200 Ohm dengan Toleransi 5% =
2200 – 5% = 2.090
2200 + 5% = 2.310
ini artinya nilai Resistor tersebut akan berkisar antara 2.090 Ohm ~ 2.310 Ohm
Untuk mempermudah menghafalkan warna di Resistor, kami memakai singkatan seperti berikut :
HI CO ME O KU JAU BI UNG A PU
(HItam, COklat, MErah, Orange, KUning. HiJAU, BIru, UNGu, Abu-abu, PUtih)

Cara menghitung nilai Resistor berdasarkan Kode Angka :

Membaca nilai Resistor yang berbentuk komponen Chip lebih mudah dari Komponen Axial, karena tidak menggunakan kode warna sebagai pengganti nilainya. Kode yang digunakan oleh Resistor yang berbentuk Komponen Chip menggunakan Kode Angka langsung jadi sangat mudah dibaca atau disebut dengan Body Code Resistor (Kode Tubuh Resistor)
Resistor Chip
Contoh :
Kode Angka yang tertulis di badan Komponen Chip Resistor adalah 4 7 3;
Cara pembacaannya adalah :
Masukkan Angka ke-1 langsung = 4
Masukkan Angka ke-2 langsung = 7
Masukkan Jumlah nol dari Angka ke 3 = 000 (3 nol) atau kalikan dengan 103
Maka nilainya adalah 47.000 Ohm atau 47 kilo Ohm (47 kOhm)

Contoh-contoh perhitungan lainnya :
222 → 22 * 102 = 2.200 Ohm atau 2,2 Kilo Ohm
103 → 10 * 103 = 10.000 Ohm atau 10 Kilo Ohm
334 → 33 * 104 = 330.000 Ohm atau 330 Kilo Ohm

Ada juga yang memakai kode angka seperti dibawah ini :
(Tulisan R menandakan letaknya koma decimal)
4R7 = 4,7 Ohm
0R22 = 0,22 Ohm
Keterangan :
Ohm = Ω
Kilo Ohm = KΩ
Mega Ohm = MΩ
1.000 Ohm = 1 kilo Ohm (1 KΩ )
1.000.000 Ohm = 1 Mega Ohm (1 MΩ)
1.000 kilo Ohm = 1 Mega Ohm (1 MΩ)

Pengertian, Rumus dan Bunyi Hukum Ohm – Dalam Ilmu Elektronika, Hukum dasar Elektronika yang wajib dipelajari dan dimengerti oleh setiap Engineer Elektronika ataupun penghobi Elektronika adalah Hukum Ohm, yaitu Hukum dasar yang menyatakan hubungan antara Arus Listrik (I), Tegangan (V) dan Hambatan (R). Hukum Ohm dalam bahasa Inggris disebut dengan “Ohm’s Laws”. Hukum Ohm pertama kali diperkenalkan oleh seorang fisikawan Jerman yang bernama Georg Simon Ohm (1789-1854) pada tahun 1825. Georg Simon Ohm mempublikasikan Hukum Ohm tersebut pada Paper yang berjudul “The Galvanic Circuit Investigated Mathematically” pada tahun 1827.

Bunyi Hukum Ohm

Pada dasarnya, bunyi dari Hukum Ohm adalah :
“Besar arus listrik (I) yang mengalir melalui sebuah penghantar atau Konduktor akan berbanding lurus dengan beda potensial / tegangan (V) yang diterapkan kepadanya dan berbanding terbalik dengan hambatannya (R)”.
Secara Matematis, Hukum Ohm dapat dirumuskan menjadi persamaan seperti dibawah ini :
V = I x R
I = V / R
R = V / I
Dimana :
V = Voltage (Beda Potensial atau Tegangan yang satuan unitnya adalah Volt (V))
I = Current (Arus Listrik yang satuan unitnya adalah Ampere (A))
R = Resistance (Hambatan atau Resistansi yang satuan unitnya adalah Ohm (Ω))
Dalam aplikasinya, Kita dapat menggunakan Teori Hukum Ohm dalam Rangkaian Elektronika untuk memperkecilkan Arus listrik, Memperkecil Tegangan dan juga dapat memperoleh Nilai Hambatan (Resistansi) yang kita inginkan.
Hal yang perlu diingat dalam perhitungan rumus Hukum Ohm, satuan unit yang dipakai adalah Volt, Ampere dan Ohm. Jika kita menggunakan unit lainnya seperti milivolt, kilovolt, miliampere, megaohm ataupun kiloohm, maka kita perlu melakukan konversi ke unit Volt, Ampere dan Ohm terlebih dahulu untuk mempermudahkan perhitungan dan juga untuk mendapatkan hasil yang benar.

Contoh Kasus dalam Praktikum Hukum Ohm

Untuk lebih jelas mengenai Hukum Ohm, kita dapat melakukan Praktikum dengan sebuah Rangkaian Elektronika Sederhana seperti dibawah ini :
Rangkaian untuk Praktikum Hukum Ohm
Kita memerlukan sebuah DC Generator (Power Supply), Voltmeter, Amperemeter, dan sebuah Potensiometer sesuai dengan nilai yang dibutuhkan.
Dari Rangkaian Elektronika yang sederhana diatas kita dapat membandingkan Teori Hukum Ohm dengan hasil yang didapatkan dari Praktikum dalam hal menghitung Arus Listrik (I), Tegangan (V) dan Resistansi/Hambatan (R).

Menghitung Arus Listrik (I)

Rumus yang dapat kita gunakan untuk menghitung Arus Listrik adalah I = V / R
Contoh Kasus 1 :
Setting DC Generator atau Power Supply untuk menghasilkan Output Tegangan 10V, kemudian atur Nilai Potensiometer ke 10 Ohm. Berapakah nilai Arus Listrik (I) ?
Masukan nilai Tegangan yaitu 10V dan Nilai Resistansi dari Potensiometer yaitu 10 Ohm ke dalam Rumus Hukum Ohm seperti dibawah ini :
I = V / R
I = 10 / 10
I = 1 Ampere
Maka hasilnya adalah 1 Ampere.
Contoh Kasus 2 :
Setting DC Generator atau Power Supply untuk menghasilkan Output Tegangan 10V, kemudian atur nilai Potensiometer ke 1 kiloOhm. Berapakah nilai Arus Listrik (I)?
Konversi dulu nilai resistansi 1 kiloOhm ke satuan unit Ohm. 1 kiloOhm = 1000 Ohm. Masukan nilai Tegangan 10V dan nilai Resistansi dari Potensiometer 1000 Ohm ke dalam Rumus Hukum Ohm seperti dibawah ini :
I = V / R
I = 10 / 1000
I = 0.01 Ampere atau 10 miliAmpere
Maka hasilnya adalah 10mA

Menghitung Tegangan (V)

Rumus yang akan kita gunakan untuk menghitung Tegangan atau Beda Potensial adalah V = I x R.
Contoh Kasus :
Atur nilai resistansi atau hambatan (R) Potensiometer ke 500 Ohm, kemudian atur DC Generator (Power supply) hingga mendapatkan Arus Listrik (I) 10mA. Berapakah Tegangannya (V) ?
Konversikan dulu unit Arus Listrik (I) yang masih satu miliAmpere menjadi satuan unit Ampere yaitu : 10mA = 0.01 Ampere. Masukan nilai Resistansi Potensiometer 500 Ohm dan nilai Arus Listrik 0.01 Ampere ke Rumus Hukum Ohm seperti dibawah ini :
V = I x R
V = 0.01 x 500
V = 5 Volt
Maka nilainya adalah 5Volt.

Menghitung Resistansi / Hambatan (R)

Rumus yang akan kita gunakan untuk menghitung Nilai Resistansi adalah R = V / I
Contoh Kasus :
Jika di nilai Tegangan di Voltmeter (V) adalah 12V dan nilai Arus Listrik (I) di Amperemeter adalah 0.5A. Berapakah nilai Resistansi pada Potensiometer ?
Masukan nilai Tegangan 12V dan Arus Listrik 0.5A kedalam Rumus Ohm seperti dibawah ini :
R = V / I
R = 12 /0.5
R = 24 Ohm
Maka nilai Resistansinya adalah 24 Ohm

B. Kapasitor (Capacitor)

Kapasitor atau disebut juga dengan Kondensator adalah Komponen Elektronika Pasif yang dapat menyimpan energi atau muatan listrik dalam sementara waktu. Fungsi-fungsi Kapasitor (Kondensator) diantaranya adalah dapat memilih gelombang radio pada rangkaian Tuner, sebagai perata arus pada rectifier dan juga sebagai Filter di dalam Rangkaian Power Supply (Catu Daya). Satuan nilai untuk Kapasitor (Kondensator) adalah Farad (F)
Jenis-jenis Kapasitor diantaranya adalah :
  1. Kapasitor yang nilainya Tetap dan tidak ber-polaritas. Jika didasarkan pada bahan pembuatannya maka Kapasitor yang nilainya tetap terdiri dari Kapasitor Kertas, Kapasitor Mika, Kapasitor Polyster dan Kapasitor Keramik.
  2. Kapasitor yang nilainya Tetap tetapi memiliki Polaritas Positif dan Negatif, Kapasitor tersebut adalah Kapasitor Elektrolit atau Electrolyte Condensator (ELCO) dan Kapasitor Tantalum
  3. Kapasitor yang nilainya dapat diatur, Kapasitor jenis ini sering disebut dengan Variable Capasitor.

Gambar dan Simbol Kapasitor :


Jenis-jenis Kapasitor
Rangkaian Seri dan Paralel Kapasitor serta Cara Menghitung Nilainya – Kapasitor (Kondensator) adalah Komponen Elektronika yang berfungsi untuk menyimpan Muatan Listrik dalam waktu yang relatif dengan satuannya adalah Farad. Variasi Nilai Farad yang sangat besar mulai dari beberapa piko Farad (pF)  sampai dengan ribuan Micro Farad (μF) sehingga produsen komponen Kapasitor tidak mungkin dapat menyediakan semua variasi nilai Kapasitor yang diinginkan oleh perancang Rangkaian Elektronika.
Pada kondisi tertentu, Engineer Produksi ataupun penghobi Elektronika mungkin juga akan mengalami permasalahan tidak menemukan Nilai Kapasitor yang dikehendakinya di Pasaran. Oleh karena itu, diperlukan Rangkaian Seri ataupun Rangkaian Paralel Kapasitor untuk mendapatkan nilai Kapasitansi Kapasitor yang paling cocok untuk Rangkaian Elektronikanya. Yang dimaksud dengan Kapasitansi dalam Elektronika adalah ukuran kemampuan suatu komponen atau dalam hal ini adalah Kapasitor dalam menyimpan muatan listrik.
Berikut ini adalah nilai Kapasitansi Standar untuk Kapasitor Tetap yang umum dan dapat ditemukan di Pasaran :Tabel Nilai Standar Kapasitor
Menurut Tabel diatas, hanya sekitar 133 nilai Standar Kapasitor Tetap yang umum dan dapat ditemukan di Pasaran. Jadi bagaimana kalau nilai kapasitansi yang paling cocok untuk rangkaian Elektronika kita tidak ditemukan di Pasaran atau bukan nilai Standar Kapasitor Tetap? Jawabannya adalah dengan menggunakan Rangkaian Seri ataupun Rangkaian Paralel Kapasitor.

Rangkaian Paralel Kapasitor (Kondensator)

Rangkaian Paralel Kapasitor adalah Rangkaian yang terdiri dari 2 buah atau lebih Kapasitor yang disusun secara berderet atau berbentuk Paralel. Dengan menggunakan Rangkaian Paralel Kapasitor ini, kita dapat menemukan nilai Kapasitansi pengganti yang diinginkan.
Rumus dari Rangkaian Paralel Kapasitor (Kondensator) adalah :
Ctotal = C1 + C2 + C3 + C4 + …. + Cn
Dimana :
Ctotal Total Nilai Kapasitansi Kapasitor
C1     = Kapasitor ke-1
C2    = Kapasitor ke-2
C3    = Kapasitor ke-3
C4    = Kapasitor ke-4
Cn     = Kapasitor ke-n
Berikut ini adalah gambar bentuk Rangkaian Paralel KapasitorRangkaian Paralel Kapasitor
Contoh Kasus untuk menghitung Rangkaian Paralel Kapasitor
Seorang  Perancang Rangkaian Elektronika ingin merancang sebuah Peralatan Elektronika, salah satu nilai Kapasitansi yang diperlukannya adalah 2500pF, tetapi nilai tersebut tidak dapat ditemukannya di Pasaran Komponen Elektronika. Oleh karena itu, Perancang Elektronika tersebut menggunakan Rangkaian Paralel untuk mendapatkan nilai kapasitansi yang diinginkannya.
Penyelesaian :
Beberapa kombinasi yang dapat dipergunakannya antara lain :
1 buah Kapasitor dengan nilai 1000pF
1 buah Kapasitor dengan nilai 1500pF
Ctotal = C1 + C2
Ctotal = 1000pF + 1500pF
Ctotal = 2500pF
Atau
1 buah Kapasitor dengan nilai 1000pF
2 buah Kapasitor dengan nilai 750pF
Ctotal = C1 + C2 + C3
Ctotal = 1000pF + 750pF + 750pF
Ctotal = 2500pF

Rangkaian Seri Kapasitor (Kondensator)

Rangkaian Seri Kapasitor adalah Rangkaian yang terdiri dari 2 buah dan lebih Kapasitor yang disusun sejajar atau berbentuk Seri. Seperti halnya dengan Rangkaian Paralel, Rangkaian Seri Kapasitor ini juga dapat digunakan untuk mendapat nilai Kapasitansi Kapasitor pengganti yang diinginkan. Hanya saja, perhitungan Rangkaian Seri untuk Kapasitor ini lebih rumit dan sulit dibandingkan dengan Rangkaian Paralel Kapasitor.
Rumus dari Rangkaian Paralel Kapasitor (Kondensator) adalah :
1/Ctotal = 1/C1 + 1/C2 + 1/C3 + 1/C4 + …. + 1/Cn
Dimana :
Ctotal Total Nilai Kapasitansi Kapasitor
C1     = Kapasitor ke-1
C2    = Kapasitor ke-2
C3    = Kapasitor ke-3
C4    = Kapasitor ke-4
Cn     = Kapasitor ke-n
Berikut ini adalah gambar bentuk Rangkaian Seri Kapasitor  Rangkaian Seri Kapasitor
Contoh Kasus untuk menghitung Rangkaian Seri Kapasitor
Seorang Engineer ingin membuat Jig Tester dengan salah satu nilai Kapasitansi Kapasitor yang paling cocok untuk rangkaiannya adalah 500pF, tetapi nilai 500pF tidak terdapat di Pasaran. Maka Engineer tersebut menggunakan 2 buah Kapasitor yang bernilai 1000pF yang kemudian dirangkainya menjadi sebuah Rangkaian Seri Kapasitor untuk mendapatkan nilai yang diinginkannya.
Penyelesaian :
2 buah Kapasitor dengan nilai 1000pF
1/Ctotal = 1/C1 + 1/C2
1/Ctotal = 1/1000 + 1/1000
1/Ctotal = 2/1000
2 x Ctotal = 1 x 1000
Ctotal = 1000/2
Ctotal = 500pF

Catatan :
  • Nilai Kapasitansi Kapasitor akan bertambah dengan menggunakan Rangkaian Paralel Kapasitor, sedangkan nilai Kapasitansinya akan berkurang jika menggunakan Rangkaian Seri Kapasitor. Hal ini sangat berbeda dengan Rangkaian Seri dan Paralel untuk Resitor (Hambatan).
  • Pada kondisi tertentu, Rangkaian Gabungan antara Paralel dan Seri dapat digunakan untuk menemukan nilai Kapasitansi yang diperlukan.
  • Kita juga dapat menggunakan Multimeter untuk mengukur dan memastikan Nilai Kapasitansi dari Rangkaian Seri ataupun Paralel Kapasitor sesuai dengan Nilai Kapasitansi yang kita inginkan.
Pengertian Relay dan Fungsinya – Relay adalah Saklar (Switch) yang dioperasikan secara listrik dan merupakan komponen Electromechanical (Elektromekanikal) yang terdiri dari 2 bagian utama yakni Elektromagnet (Coil) dan Mekanikal (seperangkat Kontak Saklar/Switch). Relay menggunakan Prinsip Elektromagnetik untuk menggerakkan Kontak Saklar sehingga dengan arus listrik yang kecil (low power) dapat menghantarkan listrik yang bertegangan lebih tinggi. Sebagai contoh, dengan Relay yang menggunakan Elektromagnet 5V dan 50 mA mampu menggerakan Armature Relay (yang berfungsi sebagai saklarnya) untuk menghantarkan listrik 220V 2A.

Pengertian Saklar Listrik dan Cara Kerjanya – Saklar atau lebih tepatnya adalah Saklar listrik adalah suatu komponen atau perangkat yang digunakan untuk memutuskan atau menghubungkan aliran listrik. Saklar yang dalam bahasa Inggris disebut dengan Switch ini merupakan salah satu komponen atau alat listrik yang paling sering digunakan. Hampir semua peralatan Elektronika dan Listrik memerlukan Saklar untuk menghidupkan atau mematikan alat listrik yang digunakan.
Berikut ini beberapa contoh penggunaan saklar di peralatan-peralatan listrik maupun elektronik :
  • Tombol ON/OFF dan Volume Up Down di Ponsel
  • Tombol ON/OFF di TV, Tombol-tombol di Remote TV
  • Saklar dinding untuk menghidupkan dan mematikan lampu listrik
  • Tombol ON/OFF di Laptop atau Komputer
  • Tombol-tombol Keyboard pada Laptop atau Komputer
  • Tombol ON/OFF dan Tombol pilihan kecepatan di Kipas Angin
  • Dan masih banyak lagi.

Cara Kerja Saklar Listrik

Pada dasarnya, sebuah Saklar sederhana terdiri dari dua bilah konduktor (biasanya adalah logam) yang terhubung ke rangkaian eksternal, Saat kedua bilah konduktor tersebut terhubung maka akan terjadi hubungan arus listrik dalam rangkaian. Sebaliknya, saat kedua konduktor tersebut dipisahkan maka hubungan arus listrik akan ikut terputus.
Saklar yang paling sering ditemukan adalah Saklar yang dioperasikan oleh tangan manusia dengan satu atau lebih pasang kontak listrik. Setiap pasangan kontak umumnya terdiri dari 2 keadaan atau disebut dengan “State”. Kedua keadaan tersebut diantaranya adalah Keadaan “Close” atau “Tutup” dan Keadaan “Open” atau “Buka”. Close artinya terjadi sambungan aliran listrik sedangkan Open adalah terjadinya pemutusan aliran listrik.Rangkaian Dasar Lampu
Berdasarkan dua keadaan tersebut, Saklar pada umumnya menggunakan istilah Normally Open (NO) untuk Saklar yang berada pada keadaan Terbuka (Open) pada kondisi awal. Ketika ditekan, Saklar yang Normally Open (NO) tersebut akan berubah menjadi keadaan Tertutup (Close) atau “ON”. Sedangkan Normally Close  (NC) adalah saklar yang berada pada keadaan Tertutup (Close) pada kondisi awal dan akan beralih ke keadaan Terbuka (Open) ketika ditekan.

Pole dan Throw Saklar

Saklar Listrik dapat digolongkan berdasarkan jumlah Kontak dan Kondisi yang dimilikinya. Jumlah Kontak dan kondisi yang dimiliki tersebut biasanya disebut dengan istilah “Pole” dan “Throw”.
Pole adalah banyaknya Kontak yang dimiliki oleh sebuah saklar sedangkan Throw adalah banyaknya kondisi yang dimiliki oleh sebuah Saklar.
Berikut ini adalah beberapa contoh jenis Saklar Listrik yang digolongkan berdasarkan Pole dan Throw :
  • SPST : Single Pole Single Throw, yaitu Saklar ON/OFF yang paling sederhana dengan hanya memiliki 2 Terminal. Contohnya Saklar Listrik ON/OFF pada lampu.
  • SPDT : Single Pole Double Throw, yaitu Saklar yang memiliki 3 Terminal. Saklar jenis ini dapat digunakan sebagai Saklar Pemilih. Contohnya Saklar pemilih Tegangan Input Adaptor yaitu 110V atau 220V.
  • DPST : Double Pole Single Throw, yaitu saklar yang memiliki 4 Terminal. DPST dapat diartikan sebagai 2 Saklar SPST yang dikendalikan dalam satu mekanisme.
  • DPDT : Double Pole Double Throw, yaitu saklar yang memiliki 6 Terminal. DPDT dapat diartikan sebagai 2 Saklar SPDT yang dikendalikan dalam satu mekanisme.
  • SP6T : Single Pole Six Throw, yaitu saklar yang memilki 7 Terminal yang pada umumnya berfungsi sebagai Saklar pemilih. Jenis Saklar ini banyak ditemui dalam Rangkaian Adaptor yang dapat memilih berbagai Tegangan Output, misalnya pilihan output 1,5V, 3V, 4,5V, 6V, 9V dan 12V.
Berikut ini adalah Simbol Saklar berdasarkan jumlah Pole dan Throw-nya.
Simbol Saklar dan Jumlah Pole dan Throw

Selain jenis-jenis Pole dan Throw diatas, adanya juga 1P3T, 2P6T, TPST dan masih banyak lagi tergantung keperluan dan penerapannya.

Gambar Bentuk dan Simbol Relay

Dibawah ini adalah gambar bentuk Relay dan Simbol Relay yang sering ditemukan di Rangkaian Elektronika.
Gambar bentuk dan Simbol relay

Prinsip Kerja Relay

Pada dasarnya, Relay terdiri dari 4 komponen dasar  yaitu :
  1. Electromagnet (Coil)
  2. Armature
  3. Switch Contact Point (Saklar)
  4. Spring
Berikut ini merupakan gambar dari bagian-bagian Relay :Struktur dasar Relay
Kontak Poin (Contact Point) Relay terdiri dari 2 jenis yaitu :
  • Normally Close (NC) yaitu kondisi awal sebelum diaktifkan akan selalu berada di posisi CLOSE (tertutup)
  • Normally Open (NO) yaitu kondisi awal sebelum diaktifkan akan selalu berada di posisi OPEN (terbuka)
Berdasarkan gambar diatas, sebuah Besi (Iron Core) yang dililit oleh sebuah kumparan Coil yang berfungsi untuk mengendalikan Besi tersebut. Apabila Kumparan Coil diberikan arus listrik, maka akan timbul gaya Elektromagnet yang kemudian menarik Armature untuk berpindah dari Posisi sebelumnya (NC) ke posisi baru (NO) sehingga menjadi Saklar yang dapat menghantarkan arus listrik di posisi barunya (NO). Posisi dimana Armature tersebut berada sebelumnya (NC) akan menjadi OPEN atau tidak terhubung. Pada saat tidak dialiri arus listrik, Armature akan kembali lagi ke posisi Awal (NC). Coil yang digunakan oleh Relay untuk menarik Contact Poin ke Posisi Close pada umumnya hanya membutuhkan arus listrik yang relatif kecil.

Arti Pole dan Throw pada Relay

Karena Relay merupakan salah satu jenis dari Saklar, maka istilah Pole dan Throw yang dipakai dalam Saklar juga berlaku pada Relay. Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai Istilah Pole and Throw :
  • Pole : Banyaknya Kontak (Contact) yang dimiliki oleh sebuah relay
  • Throw : Banyaknya kondisi yang dimiliki oleh sebuah Kontak (Contact)
Berdasarkan penggolongan jumlah Pole dan Throw-nya sebuah relay, maka relay dapat digolongkan menjadi :
  • Single Pole Single Throw (SPST) : Relay golongan ini memiliki 4 Terminal, 2 Terminal untuk Saklar dan 2 Terminalnya lagi untuk Coil.
  • Single Pole Double Throw (SPDT) : Relay golongan ini memiliki 5 Terminal, 3 Terminal untuk Saklar dan 2 Terminalnya lagi untuk Coil.
  • Double Pole Single Throw (DPST) : Relay golongan ini memiliki 6 Terminal, diantaranya 4 Terminal yang terdiri dari 2 Pasang Terminal Saklar sedangkan 2 Terminal lainnya untuk Coil. Relay DPST dapat dijadikan 2 Saklar yang dikendalikan oleh 1 Coil.
  • Double Pole Double Throw (DPDT) : Relay golongan ini memiliki Terminal sebanyak 8 Terminal, diantaranya 6 Terminal yang merupakan 2 pasang Relay SPDT yang dikendalikan oleh 1 (single) Coil. Sedangkan 2 Terminal lainnya untuk Coil.
Selain Golongan Relay diatas, terdapat juga Relay-relay yang Pole dan Throw-nya melebihi dari 2 (dua). Misalnya 3PDT (Triple Pole Double Throw) ataupun 4PDT (Four Pole Double Throw) dan lain sebagainya.
Untuk lebih jelas mengenai Penggolongan Relay berdasarkan Jumlah Pole dan Throw, silakan lihat gambar dibawah ini :Jenis relay berdasarkan Pole dan Throw

Fungsi-fungsi dan Aplikasi Relay

Beberapa fungsi Relay yang telah umum diaplikasikan kedalam peralatan Elektronika diantaranya adalah :
  1. Relay digunakan untuk menjalankan Fungsi Logika (Logic Function)
  2. Relay digunakan untuk memberikan Fungsi penundaan waktu (Time Delay Function)
  3. Relay digunakan untuk mengendalikan Sirkuit Tegangan tinggi dengan bantuan dari Signal Tegangan rendah.
  4. Ada juga Relay yang berfungsi untuk melindungi Motor ataupun komponen lainnya dari kelebihan Tegangan ataupun hubung singkat (Short).

Pengertian Transformator (Trafo) dan Prinsip kerjanya – Hampir setiap rumah di Kota maupun Desa dialiri listrik yang berarus 220V di Indonesia. Dengan adanya arus 220V ini, kita dapat menikmati serunya drama Televisi, terangnya Cahaya Lampu Pijar maupun Lampu Neon,  mengisi ulang handphone dan juga menggunakan peralatan dapur lainnya seperti Kulkas, Rice Cooker, Mesin Cuci dan Microwave Oven. Arus listrik 220V ini merupakan jenis arus bolak-balik (AC atau Alternating Current) yang berasal dari Perusahaan Listrik yaitu PLN. Tegangan listrik yang dihasilkan oleh  PLN pada umumnya dapat mencapai puluhan hingga ratusan kilo Volt dan kemudian diturunkan menjadi 220V seperti yang kita gunakan sekarang dengan menggunakan sebuah alat yang dinamakan Transformator. Transformator disebut juga dengan Transformer.

Pengertian Transformator (Trafo)

Transformator atau sering disingkat dengan istilah Trafo adalah suatu alat listrik yang dapat mengubah taraf suatu tegangan AC ke taraf yang lain. Maksud dari pengubahan taraf tersebut diantaranya seperti menurunkan Tegangan AC dari 220VAC ke 12 VAC ataupun menaikkan Tegangan dari 110VAC ke 220 VAC.  Transformator atau Trafo ini bekerja berdasarkan prinsip Induksi Elektromagnet dan hanya dapat bekerja pada tegangan yang berarus bolak balik (AC).Transformator (Trafo) memegang peranan yang sangat penting dalam pendistribusian tenaga listrik. Transformator menaikan listrik yang berasal dari pembangkit listrik PLN hingga ratusan kilo Volt untuk di distribusikan, dan kemudian Transformator lainnya menurunkan tegangan listrik tersebut ke tegangan yang diperlukan oleh setiap rumah tangga maupun perkantoran yang pada umumnya menggunakan Tegangan AC 220Volt.

Bentuk dan Simbol Transformator (Trafo)

Berikut ini adalah gambar bentuk dan simbol Transformator :
Pengertian transformator (bentuk dan simbol trafo)

Prinsip Kerja Transformator (Trafo)

Sebuah Transformator yang sederhana pada dasarnya terdiri dari 2 lilitan atau kumparan kawat yang terisolasi yaitu kumparan primer dan kumparan sekunder. Pada kebanyakan Transformator, kumparan kawat terisolasi ini dililitkan pada sebuah besi yang dinamakan dengan Inti Besi (Core).  Ketika kumparan primer dialiri arus AC (bolak-balik) maka akan menimbulkan medan magnet atau fluks magnetik disekitarnya. Kekuatan Medan magnet (densitas Fluks Magnet) tersebut dipengaruhi oleh besarnya arus listrik yang dialirinya. Semakin besar arus listriknya semakin besar pula medan magnetnya. Fluktuasi medan magnet yang terjadi di sekitar kumparan pertama (primer) akan menginduksi GGL (Gaya Gerak Listrik) dalam kumparan kedua (sekunder) dan akan terjadi pelimpahan daya dari kumparan primer ke kumparan sekunder. Dengan demikian, terjadilah pengubahan taraf tegangan listrik baik dari tegangan rendah menjadi tegangan yang lebih tinggi maupun dari tegangan tinggi menjadi tegangan yang rendah.
Sedangkan Inti besi pada Transformator atau Trafo pada umumnya adalah kumpulan lempengan-lempengan besi tipis yang terisolasi dan ditempel berlapis-lapis dengan kegunaanya untuk mempermudah jalannya Fluks Magnet yang ditimbulkan oleh arus listrik kumparan serta untuk mengurangi suhu panas yang ditimbulkan.
Beberapa bentuk lempengan besi yang membentuk Inti Transformator tersebut diantaranya seperti :
  • E – I Lamination
  • E – E Lamination
  • L – L Lamination
  • U – I Lamination
Dibawah ini adalah Fluks pada Transformator :Fluks Magnet Transformator
Rasio lilitan pada kumparan sekunder terhadap kumparan primer menentukan rasio tegangan pada kedua kumparan tersebut. Sebagai contoh, 1 lilitan pada kumparan primer dan 10 lilitan pada kumparan sekunder akan menghasilkan tegangan 10 kali lipat dari tegangan input pada kumparan primer. Jenis Transformator ini biasanya disebut dengan Transformator Step Up. Sebaliknya, jika terdapat 10 lilitan pada kumparan primer dan 1 lilitan pada kumparan sekunder, maka tegangan yang dihasilkan oleh Kumparan Sekunder adalah 1/10 dari tegangan input pada Kumparan Primer. Transformator jenis ini disebut dengan Transformator Step Down.

 

 C. Induktor (Inductor)

Induktor atau disebut juga dengan Coil (Kumparan) adalah Komponen Elektronika Pasif yang berfungsi sebagai Pengatur Frekuensi, Filter dan juga sebagai alat kopel (Penyambung). Induktor atau Coil banyak ditemukan pada Peralatan atau Rangkaian Elektronika yang berkaitan dengan Frekuensi seperti Tuner untuk pesawat Radio. Satuan Induktansi untuk Induktor adalah Henry (H).
Jenis-jenis Induktor diantaranya adalah :
  1. Induktor yang nilainya tetap
  2. Induktor yang nilainya dapat diatur atau sering disebut dengan Coil Variable.

Gambar dan Simbol Induktor :


Jenis-jenis Induktor (Coil) 
Pengertian dan Fungsi Induktor serta jenis-jenisnyaPengertian dan Fungsi Induktor beserta jenis-jenisnya – Selain Resistor dan Kapasitor, Induktor juga merupakan komponen Elektronika Pasif yang sering ditemukan dalam Rangkaian Elektronika, terutama pada rangkaian yang berkaitan dengan Frekuensi Radio. Induktor atau dikenal juga dengan Coil adalah Komponen Elektronika Pasif yang terdiri dari susunan lilitan Kawat yang membentuk sebuah Kumparan. Pada dasarnya, Induktor dapat menimbulkan Medan Magnet jika dialiri oleh Arus Listrik. Medan Magnet yang ditimbulkan tersebut dapat menyimpan energi dalam waktu yang relatif singkat. Dasar dari sebuah Induktor adalah berdasarkan Hukum Induksi Faraday.
Kemampuan Induktor atau Coil dalam menyimpan Energi Magnet disebut dengan Induktansi yang satuan unitnya adalah Henry (H). Satuan Henry pada umumnya terlalu besar untuk Komponen Induktor yang terdapat di Rangkaian Elektronika. Oleh Karena itu, Satuan-satuan yang merupakan turunan dari Henry digunakan untuk menyatakan kemampuan induktansi sebuah Induktor atau Coil. Satuan-satuan turunan dari Henry tersebut diantaranya adalah milihenry (mH) dan microhenry (µH). Simbol yang digunakan untuk melambangkan Induktor dalam Rangkaian Elektronika adalah huruf “L”.

Simbol Induktor

Berikut ini adalah Simbol-simbol Induktor :
Simbol-simbol Induktor (Coil)
Nilai Induktansi sebuah Induktor (Coil) tergantung pada 4 faktor, diantaranya adalah :
  • Jumlah Lilitan, semakin banyak lilitannya semakin tinggi Induktasinya
  • Diameter Induktor, Semakin besar diameternya semakin tinggi pula induktansinya
  • Permeabilitas Inti, yaitu bahan Inti yang digunakan seperti Udara, Besi ataupun Ferit.
  • Ukuran Panjang Induktor, semakin pendek inductor (Koil) tersebut semakin tinggi induktansinya.

Jenis-jenis Induktor (Coil)

Berdasarkan bentuk dan bahan inti-nya, Induktor dapat dibagi menjadi beberapa jenis, diantaranya adalah :
  • Air Core Inductor – Menggunakan Udara sebagai Intinya
  • Iron Core Inductor – Menggunakan bahan Besi sebagai Intinya
  • Ferrite Core Inductor – Menggunakan bahan Ferit sebagai Intinya
  • Torroidal Core Inductor – Menggunakan Inti yang berbentuk O Ring (bentuk Donat)
  • Laminated Core Induction – Menggunakan Inti yang terdiri dari beberapa lapis lempengan logam yang ditempelkan secara paralel. Masing-masing lempengan logam diberikan Isolator.
  • Variable Inductor – Induktor yang nilai induktansinya dapat diatur sesuai dengan keinginan. Inti dari Variable Inductor pada umumnya terbuat dari bahan Ferit yang dapat diputar-putar.

Fungsi Induktor (Coil) dan Aplikasinya

Fungsi-fungsi Induktor atau Coil diantaranya adalah dapat menyimpan arus listrik dalam medan magnet, menapis (Filter) Frekuensi tertentu, menahan arus bolak-balik (AC), meneruskan arus searah (DC) dan pembangkit getaran serta melipatgandakan tegangan.
Berdasarkan Fungsi diatas, Induktor atau Coil ini pada umumnya diaplikasikan :
  • Sebagai Filter dalam Rangkaian yang berkaitan dengan Frekuensi
  • Transformator (Transformer)
  • Motor Listrik
  • Solenoid
  • Relay
  • Speaker
  • Microphone
Induktor sering disebut juga dengan Coil (Koil), Choke ataupun Reaktor.
 

D. Dioda (Diode)

Diode adalah Komponen Elektronika Aktif yang berfungsi untuk menghantarkan arus listrik ke satu arah dan menghambat arus listrik dari arah sebaliknya. Diode terdiri dari 2 Elektroda yaitu Anoda dan Katoda.
Berdasarkan Fungsi Dioda terdiri dari :
  1. Dioda Biasa atau Dioda Penyearah yang umumnya terbuat dari Silikon dan berfungsi sebagai penyearah arus bolak balik (AC) ke arus searah (DC).
  2. Dioda Zener (Zener Diode) yang berfungsi sebagai pengamanan rangkaian setelah tegangan yang ditentukan oleh Dioda Zener yang bersangkutan. Tegangan tersebut sering disebut dengan Tegangan Zener.
  3. LED (Light Emitting Diode) atau Diode Emisi Cahaya yaitu Dioda yang dapat memancarkan cahaya monokromatik.
  4. Dioda Foto (Photo Diode) yaitu Dioda yang peka dengan cahaya sehingga sering digunakan sebagai Sensor.
  5. Dioda Schottky (SCR atau Silicon Control Rectifier) adalah Dioda yang berfungsi sebagai pengendali .
  6. Dioda Laser (Laser Diode) yaitu Dioda yang dapat memancar cahaya Laser. Dioda Laser sering disingkat dengan LD.

Gambar dan Simbol Dioda:

Jenis-jenis Dioda 
Pengertian dan Fungsi Dioda – Dioda Zener (Zener Diode) adalah Komponen Elektronika yang terbuat dari Semikonduktor dan merupakan jenis Dioda yang dirancang khusus untuk dapat beroperasi di rangkaian Reverse Bias (Bias Balik). Pada saat dipasangkan pada Rangkaian Forward Bias (Bias Maju), Dioda Zener akan memiliki karakteristik dan fungsi sebagaimana Dioda Normal pada umumnya. Efek Dioda jenis ini ditemukan oleh seorang Fisikawan Amerika yang bernama Clarence Melvin Zener pada tahun 1934 sehingga nama Diodanya juga diambil dari nama penemunya yaitu Dioda Zener.

Bentuk dan Simbol Dioda Zener

Dibawah ini adalah bentuk dan Simbol Dioda Zener :
Bentuk dan simbol Dioda Zener

Prinsip Kerja Dioda Zener

Pada dasarnya, Dioda Zener akan menyalurkan arus listrik yang mengalir ke arah yang berlawanan jika tegangan yang diberikan melampaui batas “Breakdown Voltage” atau Tegangan Tembus Dioda Zenernya. Karakteristik ini berbeda dengan Dioda biasa yang hanya dapat menyalurkan arus listrik ke satu arah. Tegangan Tembus (Breakdown Voltage) ini disebut juga dengan Tegangan Zener.
Untuk lebih jelas mengenai Dioda Zener, mari kita lihat Rangkaian dasar Dioda Zener dibawah ini :
Rangkaian Dasar Dioda Zener
Dalam Rangkaian diatas, Dioda Zener dipasang dengan prinsip Bias Balik (Reverse Bias), Rangkaian tersebut merupakan cara umum dalam pemasangan Dioda Zener. Dalam Rangkaian tersebut, tegangan Input (masuk) yang diberikan adalah 12V tetapi Multimeter menunjukan tegangan yang melewati Dioda Zener adalah 2,8V. Ini artinya tegangan akan turun saat melewati Dioda Zener yang dipasang secara Bias
Balik (Reverse Bias). Sedangkan fungsi Resistor dalam Rangkaian tersebut adalah untuk pembatas arus listrik. Untuk menghitung Arus Listrik (Ampere) tersebut, kita dapat menggunakan Hukum Ohm seperti dibawah ini :
(Vinput – Vzener) / R = I
(12 – 2,8) /460              = 19,6mA
Jika menggunakan Tegangan yang lebih tinggi, contohnya 24V. Maka arus listrik yang mengalir dalam Rangkaian tersebut akan semakin besar :
(24 – 2,8) / 460            = 45mA
Akan tetapi, tegangan yang melewati Dioda Zener akan sama yaitu 2,8V. Oleh karena itu, Dioda Zener merupakan Komponen Elektronika yang cocok untuk digunakan sebagai Voltage Regulator (Pengatur Tegangan), Dioda Zener akan memberikan tegangan tetap dan sesuai dengan Tegangan Zenernya terhadap Tegangan Input yang diberikan.
Pada umumnya Tegangan Dioda Zener yang tersedia di pasaran berkisar di antara 2V sampai 70V dengan daya (power) dari 500mW sampai dengan 5W.
Untuk menghitung disipasi daya Dioda Zener, kita dapat menggunakan rumus :
P = Vz I
Contoh :
P = 2,8 x 19,6
P = 54,9mW
Dioda Zener biasanya diaplikasikan pada Voltage Regulator (Pengatur Tegangan) dan Over Voltage Protection (Perlindungan terhadap kelebihan Tegangan). Fungsi Dioda Zener dalam rangkaian-rangkaian tersebut adalah untuk menstabilkan arus dan tegangan.


Pengertian LED (Light Emitting Diode) dan Cara Kerjanya – Light Emitting Diode atau sering disingkat dengan LED adalah komponen elektronika yang dapat memancarkan  cahaya monokromatik ketika diberikan tegangan maju. LED merupakan keluarga Dioda yang terbuat dari bahan semikonduktor. Warna-warna Cahaya yang dipancarkan oleh LED tergantung pada jenis bahan semikonduktor yang dipergunakannya. LED juga dapat memancarkan sinar inframerah yang tidak tampak oleh mata seperti yang sering kita jumpai pada Remote Control TV ataupun Remote Control perangkat elektronik lainnya.
Bentuk LED mirip dengan sebuah bohlam (bola lampu) yang kecil dan dapat dipasangkan dengan mudah ke dalam berbagai perangkat elektronika. Berbeda dengan Lampu Pijar, LED tidak memerlukan pembakaran filamen sehingga tidak menimbulkan panas dalam menghasilkan cahaya.  Oleh karena itu, saat ini LED (Light Emitting Diode) yang bentuknya kecil telah banyak digunakan sebagai lampu penerang dalam LCD TV yang mengganti lampu tube.

Simbol dan Bentuk LED (Light Emitting Diode)Bentuk dan Simbol LED (Light Emitting Diode)


Cara Kerja LED (Light Emitting Diode)

Seperti dikatakan sebelumnya, LED merupakan keluarga dari Dioda yang terbuat dari Semikonduktor. Cara kerjanya pun hampir sama dengan Dioda yang memiliki dua kutub yaitu kutub Positif (P) dan Kutub Negatif (N). LED hanya akan memancarkan cahaya apabila dialiri tegangan maju (bias forward) dari Anoda menuju ke Katoda.
LED terdiri dari sebuah chip semikonduktor yang di doping sehingga menciptakan junction P dan N. Yang dimaksud dengan proses doping dalam semikonduktor adalah proses untuk menambahkan ketidakmurnian (impurity) pada semikonduktor yang murni sehingga menghasilkan karakteristik kelistrikan yang diinginkan. Ketika LED dialiri tegangan maju atau bias forward yaitu dari Anoda (P) menuju ke Katoda (K), Kelebihan Elektron pada N-Type material akan berpindah ke wilayah yang kelebihan Hole (lubang) yaitu wilayah yang bermuatan positif (P-Type material). Saat Elektron berjumpa dengan Hole akan melepaskan photon dan memancarkan cahaya monokromatik (satu warna).Cara kerja LED (Light Emitting Diode)
LED atau Light Emitting Diode yang memancarkan cahaya ketika dialiri tegangan maju ini juga dapat digolongkan sebagai Transduser yang dapat mengubah Energi Listrik menjadi Energi Cahaya.

Cara Mengetahui Polaritas LED Cara mengetahui polaritas LED

Untuk mengetahui polaritas terminal Anoda (+) dan Katoda (-) pada LED. Kita dapat melihatnya secara fisik berdasarkan gambar diatas. Ciri-ciri Terminal Anoda pada LED adalah kaki yang lebih panjang dan juga Lead Frame yang lebih kecil. Sedangkan ciri-ciri Terminal Katoda adalah Kaki yang lebih pendek dengan Lead Frame yang besar serta terletak di sisi yang Flat.

Warna-warna LED (Light Emitting Diode)

Saat ini, LED telah memiliki beranekaragam warna, diantaranya seperti warna merah, kuning, biru, putih, hijau, jingga dan infra merah. Keanekaragaman Warna pada LED tersebut tergantung pada wavelength (panjang gelombang) dan senyawa semikonduktor yang dipergunakannya. Berikut ini adalah Tabel Senyawa Semikonduktor yang digunakan untuk menghasilkan variasi warna pada LED :
Bahan Semikonduktor Wavelength Warna
Gallium Arsenide (GaAs) 850-940nm Infra Merah
Gallium Arsenide Phosphide (GaAsP) 630-660nm Merah
Gallium Arsenide Phosphide (GaAsP) 605-620nm Jingga
Gallium Arsenide Phosphide Nitride (GaAsP:N) 585-595nm Kuning
Aluminium Gallium Phosphide (AlGaP) 550-570nm Hijau
Silicon Carbide (SiC) 430-505nm Biru
Gallium Indium Nitride (GaInN) 450nm Putih

Tegangan Maju (Forward Bias) LED

Masing-masing Warna LED (Light Emitting Diode) memerlukan tegangan maju (Forward Bias) untuk dapat menyalakannya. Tegangan Maju untuk LED tersebut tergolong rendah sehingga memerlukan sebuah Resistor untuk membatasi Arus dan Tegangannya agar tidak merusak LED yang bersangkutan. Tegangan Maju biasanya dilambangkan dengan tanda VF.
Warna Tegangan Maju @20mA
Infra Merah 1,2V
Merah 1,8V
Jingga 2,0V
Kuning 2,2V
Hijau 3,5V
Biru 3,6V
Putih 4,0V

Kegunaan LED dalam Kehidupan sehari-hari

Teknologi LED memiliki berbagai kelebihan seperti tidak menimbulkan panas, tahan lama, tidak mengandung bahan berbahaya seperti merkuri, dan hemat listrik serta bentuknya yang kecil ini semakin popular dalam bidang teknologi pencahayaan. Berbagai produk yang memerlukan cahaya pun mengadopsi teknologi Light Emitting Diode (LED) ini. Berikut ini beberapa pengaplikasiannya LED dalam kehidupan sehari-hari.
  1. Lampu Penerangan Rumah
  2. Lampu Penerangan Jalan
  3. Papan Iklan (Advertising)
  4. Backlight LCD (TV, Display Handphone, Monitor)
  5. Lampu Dekorasi Interior maupun Exterior
  6. Lampu Indikator
  7. Pemancar Infra Merah pada Remote Control (TV, AC, AV Player)
Pengertian dan Fungsi Dioda – Dioda Zener (Zener Diode) adalah Komponen Elektronika yang terbuat dari Semikonduktor dan merupakan jenis Dioda yang dirancang khusus untuk dapat beroperasi di rangkaian Reverse Bias (Bias Balik). Pada saat dipasangkan pada Rangkaian Forward Bias (Bias Maju), Dioda Zener akan memiliki karakteristik dan fungsi sebagaimana Dioda Normal pada umumnya. Efek Dioda jenis ini ditemukan oleh seorang Fisikawan Amerika yang bernama Clarence Melvin Zener pada tahun 1934 sehingga nama Diodanya juga diambil dari nama penemunya yaitu Dioda Zener.

Bentuk dan Simbol Dioda Zener

Dibawah ini adalah bentuk dan Simbol Dioda Zener :
Bentuk dan simbol Dioda Zener

Prinsip Kerja Dioda Zener

Pada dasarnya, Dioda Zener akan menyalurkan arus listrik yang mengalir ke arah yang berlawanan jika tegangan yang diberikan melampaui batas “Breakdown Voltage” atau Tegangan Tembus Dioda Zenernya. Karakteristik ini berbeda dengan Dioda biasa yang hanya dapat menyalurkan arus listrik ke satu arah. Tegangan Tembus (Breakdown Voltage) ini disebut juga dengan Tegangan Zener.
Untuk lebih jelas mengenai Dioda Zener, mari kita lihat Rangkaian dasar Dioda Zener dibawah ini :
Rangkaian Dasar Dioda Zener
Dalam Rangkaian diatas, Dioda Zener dipasang dengan prinsip Bias Balik (Reverse Bias), Rangkaian tersebut merupakan cara umum dalam pemasangan Dioda Zener. Dalam Rangkaian tersebut, tegangan Input (masuk) yang diberikan adalah 12V tetapi Multimeter menunjukan tegangan yang melewati Dioda Zener adalah 2,8V. Ini artinya tegangan akan turun saat melewati Dioda Zener yang dipasang secara Bias
Balik (Reverse Bias). Sedangkan fungsi Resistor dalam Rangkaian tersebut adalah untuk pembatas arus listrik. Untuk menghitung Arus Listrik (Ampere) tersebut, kita dapat menggunakan Hukum Ohm seperti dibawah ini :
(Vinput – Vzener) / R = I
(12 – 2,8) /460              = 19,6mA
Jika menggunakan Tegangan yang lebih tinggi, contohnya 24V. Maka arus listrik yang mengalir dalam Rangkaian tersebut akan semakin besar :
(24 – 2,8) / 460            = 45mA
Akan tetapi, tegangan yang melewati Dioda Zener akan sama yaitu 2,8V. Oleh karena itu, Dioda Zener merupakan Komponen Elektronika yang cocok untuk digunakan sebagai Voltage Regulator (Pengatur Tegangan), Dioda Zener akan memberikan tegangan tetap dan sesuai dengan Tegangan Zenernya terhadap Tegangan Input yang diberikan.
Pada umumnya Tegangan Dioda Zener yang tersedia di pasaran berkisar di antara 2V sampai 70V dengan daya (power) dari 500mW sampai dengan 5W.
Untuk menghitung disipasi daya Dioda Zener, kita dapat menggunakan rumus :
P = Vz I
Contoh :
P = 2,8 x 19,6
P = 54,9mW
Dioda Zener biasanya diaplikasikan pada Voltage Regulator (Pengatur Tegangan) dan Over Voltage Protection (Perlindungan terhadap kelebihan Tegangan). Fungsi Dioda Zener dalam rangkaian-rangkaian tersebut adalah untuk menstabilkan arus dan tegangan.


G. Saklar (Switch)

Saklar adalah Komponen yang digunakan untuk menghubungkan dan memutuskan aliran listrik. Dalam Rangkaian Elektronika, Saklar sering digunakan sebagai ON/OFF dalam peralatan Elektronika.

Gambar dan Simbol Saklar (Switch) :

Jenis-jenis Saklar (Switch)

Pengertian Thermistor (NTC dan PTC) beserta Karakteristiknya – Thermistor adalah salah satu jenis Resistor yang nilai resistansi atau nilai hambatannya dipengaruhi oleh Suhu (Temperature). Thermistor merupakan singkatan dari “Thermal Resistor” yang artinya adalah Tahanan (Resistor) yang berkaitan dengan Panas (Thermal). Thermistor terdiri dari 2 jenis, yaitu Thermistor NTC (Negative Temperature Coefficient) dan Thermistor PTC (Positive Temperature Coefficient).
Komponen Elektronika yang peka dengan suhu ini pertama kali ditemukan oleh seorang ilmuwan inggris yang bernama Michael Faraday pada 1833. Thermistor yang ditemukannya tersebut merupakan Thermistor jenis NTC (Negative Temperature Coefficient). Michael Faraday menemukan adanya penurunan Resistansi (hambatan) yang signifikan pada bahan Silver Sulfide ketika suhu dinaikkan. Namun Thermitor komersil pertama yang dapat diproduksi secara massal adalah Thermistor ditemukan oleh Samuel Ruben pada tahun 1930. Samuel Ruben adalah seorang ilmuwan yang berasal dari Amerika Serikat.
Seperti namanya, Nilai Resistansi Thermistor NTC akan turun jika suhu di sekitar Thermistor NTC tersebut tinggi (berbanding terbalik / Negatif). Sedangkan untuk Thermistor PTC, semakin tinggi suhu disekitarnya, semakin tinggi pula nilai resistansinya (berbanding lurus / Positif).

Simbol dan Gambar Thermistor PTC dan NTC

Berikut ini adalah Simbol dan Gambar Komponen Thermistor PTC dan NTC :Bentuk dan Simbol Thermistor PTC dan NTC

Karaktreristik Thermistor NTC dan PTC

Contoh perubahaan Nilai Resistansi Thermistor NTC saat terjadinya perubahan suhu disekitarnya (dikutip dari Data Sheet salah satu Produsen Thermistor MURATA Part No. NXFT15XH103), Thermistor NTC tersebut bernilai 10kΩ pada suhu ruangan (25°C), tetapi akan berubah seiring perubahan suhu disekitarnya. Pada -40°C nilai resistansinya akan menjadi 197.388kΩ, saat kondisi suhu di 0°C nilai resistansi NTC akan menurun menjadi 27.445kΩ, pada suhu 100°C akan menjadi 0.976kΩ dan pada suhu 125°C akan menurun menjadi 0.532kΩ. Jika digambarkan, maka Karakteristik Thermistor NTC tersebut adalah seperti dibawah ini :
Karakteristik Thermistor NTC
Pada umumnya Thermistor NTC dan Thermistor PTC adalah Komponen Elektronika yang berfungsi sebagai sensor pada rangkaian Elektronika yang berhubungan dengan Suhu (Temperature). Suhu operasional Thermistor berbeda-beda tergantung pada Produsen Thermistor itu sendiri, tetapi pada umumnya berkisar diantara -90°C sampai 130°C. Beberapa aplikasi Thermistor NTC dan PTC di kehidupan kita sehari-hari antara lain sebagai pendeteksi Kebakaran, Sensor suhu di Engine (Mesin) mobil, Sensor untuk memonitor suhu Battery Pack (Kamera, Handphone, Laptop) saat Charging, Sensor untuk memantau suhu Inkubator, Sensor suhu untuk Kulkas, sensor suhu pada Komputer dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui cara mengukur/menguji Thermistor (PTC/NTC). Silakan baca artikel : Cara Mengukur Thermistor PTC dan NTC dengan Multimeter. 
Thermistor NTC atau Thermistor PTC merupakan komponen Elektronika yang digolongkan sebagai Komponen Transduser, yaitu komponen ataupun perangkat yang dapat mengubah suatu energi ke energi lainnya. Dalam hal ini, Thermistor merupakan komponen yang dapat mengubah energi panas (suhu) menjadi hambatan listrik. Thermistor juga tergolong dalam kelompok Sensor Suhu. Baca juga : Pengertian Sensor Suhu dan Jenis-jenisnya.

2 comments:

  1. Materinya lengkap banget pak,
    ini tugas saya.
    Nama : M. Lukman Hakim
    Nim : Ti11140031
    Link : https://lukman321.wordpress.com/2015/03/16/resistor-dan-kapasitor-3/

    Terimakasih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. okay nice.....
      inbox ke FB Wire Bagye saja

      nanti saya browse

      Delete